Perubahan Iklim di Indonesia
![http://assets.kompas.com/data/photo/2012/03/02/1645325620X310.jpg](file:///C:/Users/TOSHIBA/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.jpg)
TERKAIT:
Oleh Agus Supangat
Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai
adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut,
dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan
sebagainya). Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di
Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain.
Beberapa studi institusi, baik dari dalam maupun luar negeri
menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960,
meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas.
Perubahan temperatur rerata harian merupakan indikator paling
umum perubahan iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan
temperatur secara umum di Indonesia berada pada kisaran 20 C – 2,50 C pada
tahun 2100 berdasarkan skenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan energi
secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met Office, 2011). Data
historis mengonfirmasi skenario tersebut, misalnya kenaikan temperatur linier
berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan
analisis data 25 tahun terakhir (KLH, 2012).
Peningkatan temperatur rerata harian tersebut berpengaruh secara
signifikan terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi monsun
Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun, Indonesia memiliki dua musim utama
yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau).
Perubahan temperatur rerata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan
pola curah hujan secara ekstrem.
UK Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir
parah sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap;
Bappenas, 2010) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang
kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia
bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua. Salah satu fenomena
yang mengonfirmasi terjadinya peningkatan temperatur di Indonesia adalah
melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua.
Di samping mengakibatkan kekeringan atau banjir ekstrem,
peningkatan temperatur permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya
peningkatan temperatur air laut yang berujung pada ekspansi volum air laut dan
mencairnya glestser serta es pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka
air laut mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan
di pesisir pantai.
Kenaikan rerata tinggi muka laut pada abad ke-20 tercatat
sebesar 1,7 mm per tahun secara global, namun kenaikan tersebut tidak terjadi
secara seragam. Bagi Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan
tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut.
Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan tinggi muka laut yang tidak
seragam juga meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai,
mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai, dan meningkatkan laju
intrusi air laut terhadap aquifer daerah pantai.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (ICCSR, 2010)
dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2011, gelombang badai (storm surge); pasang surut, serta variabilitas iklim
ekstrem seperti La Niña yang termodulasi oleh kenaikan tinggi muka laut juga
turut berkontribusi dalam memperparah bahaya penggenangan air laut di pesisir.
Analisis awal terhadap data-data simulasi gelombang menunjukkan
bahwa rerata tinggi gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode
monsun Asia berkisar antara 1 m hingga 6 m. Untuk Laut Jawa, tinggi gelombang
maksimum, terutama Januari dan Februari mencapai 3,5 m. Hal ini menambah risiko
banjir di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) karena bertepatan dengan puncak
musim penghujan di Indonesia.
Selain risiko banjir di pantai, gelombang ekstrem juga berdampak
buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan
transportasi laut. Di sisi lain, analisis yang dilakukan terhadap fenomena El
Niño dan La Niña (Sofian, 2010) menunjukkan bahwa kedua fenomena tersebut akan
lebih banyak berpeluang terjadi di masa mendatang dengan periode dua hingga
tiga tahun sekali yang diduga disebabkan perubahan iklim.
Perubahan iklim di Indonesia berdampak cukup besar terhadap
produksi bahan pangan, seperti jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari
sektor kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan akan mengalami
penurunan yang sangat besar dengan adanya perubahan pada pola arus, temperatur,
tinggi muka laut, umbalan, dan sebagainya.
Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling
rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada
sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Akibat dampak perubahan iklim dan
pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut, Indonesia berada pada
peringkat 23 dari 50 negara paling rentan berdasarkan kajian yang sama.
Kajian mengenai kekeringan di Indonesia akibat perubahan iklim,
terutama pada skala nasional masih kurang. Namun peluang banjir di Indonesia
akan meningkat seiring peningkatan tinggi muka laut, intensitas gelombang
ekstrem, curah hujan yang sangat tinggi dan kejadian La Niña. Bencana banjir
ekstrem terutama terjadi pada daerah pesisir yang merupakan lokasi kota-kota
strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini berdampak buruk bagi perekonomian
serta mengancam kesehatan masyarakat.
Dari beberapa kajian, beberapa indikator menunjukkan bahwa
perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia. Perubahan tersebut diketahui
memberi dampak terhadap multisektor meskipun kajian maupun data yang tersedia
masih terbatas. Di samping itu, proyeksi iklim selalu mengandung
ketidakpastian. Tantangan terbesar adalah melakukan kuantifikasi terhadap
ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan kedayagunaannya dalam pengambilan
keputusan.
Dalam hal proyeksi iklim berdasarkan Global Climate Model (GCM),
setidaknya terdapat tiga sumber ketidakpastian yang harus diperhitungkan yaitu
skenario emisi gas rumah kaca, sensitivitas iklim global terhadap emisi gas
rumah kaca (pemilihan model GCM), dan respon sistem iklim regional terhadap
pemanasan global (model downscalling).
Langkah penyempurnaan perlu terus dilakukan untuk mengatasi segala
keterbatasan data yang tersedia maupun metodologi yang telah digunakan dalam
kajian perubahan iklim di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan nasional akan
informasi mengenai perubahan iklim yang lebih akurat. Untuk masa mendatang,
perlu suatu program yang disusun untuk memperkuat basis ilmiah (scientific basis) perubahan iklim secara lebih terkoordinasi.
Program ini perlu disusun melalui pemberdayaan berbagai lembaga
yang relevan secara optimal, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan
serta perguruan tinggi. Dengan demikian, roadmapdapat digunakan bukan hanya untuk memberi
panduan bagi aksi adaptasi dan mitigasi tiap sektor, tapi juga untuk memperkuat
basis ilmiah mengenai perubahan iklim di masa mendatang.
Pada dasarnya, perubahan iklim bukan merupakan penyebab tunggal
dari bencana alam yang saat ini semakin sering terjadi. Namun perubahan iklim
berkontribusi dalam membuat fenomena atau bencana alam hidro-meteorologi ini
menjadi ekstrem atau luar biasa.
Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kajian tentang
perubahan iklim yang – meskipun masih terbatas dan belum akurat – dapat menjadi
titik awal dari suatu program yang bermanfaat bagi penguatan basis ilmiah
perubahan iklim yang terkoordinasi bagi sektor-sektor yang ada di Indonesia.
Pada akhirnya, kapasitas masing-masing sektor dapat meningkat untuk mengatasi
berbagai persoalan akibat perubahan iklim di Indonesia.
![](file:///C:/Users/TOSHIBA/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.jpg)
Dengan jumlah penduduk lebih dari
230 juta jiwa, Republik Indonesia merupakan negara terpadat ke-empat di dunia.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia. Pembangkit
tenaga listrik dan industri berteknologi konvensional terus menerus mencemari
lingkungan dengan zat-zat berbahaya, termasuk GRK. Penebangan dan pembakaran
hutan demi kepentingan ekonomi juga menyebabkan tingginya emisi GRK. Kota-kota
besar dan area perkotaan sering ditutupi asap tebal polusi kendaraan bermotor.
Lemahnya pengelolaan sampah menyebabkan polusi air, tanah, dan udara yang juga
berkontribusi terhadap pemanasan global. Ini hanya sebagian kecil masalah yang
dihadapi Indonesia. Keadaan ini akan semakin memburuk apabila ketergantungan
terhadap bahan bakar fosil terus berlangsung dan efisiensi energi tidak segera
dilakukan di sektor- sektor terkait.
Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, dengan 80.000 kilometer garis pantai dan lebih dari 17.000
pulau, berada di jalur Cincin Api Pasifik (ring of fire) yang menyebabkan
Indonesia rawan terhadap bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi,
tsunami, dan tanah longsor. Posisi geografis ini juga menyebabkan Indonesia
rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim, yang sebagian sudah mulai
dirasakan, seperti: musim kemarau berkepanjangan, banjir, dan cuaca ekstrim.
Hal ini berdampak buruk bagi kesehatan dan kesejahteraan penduduk, serta
mengancam keanekaragaman hayati dan stabilitas ekonomi Indonesia.
Pemerintah Indonesia menyadari
bahwa penanganan perubahan iklim merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
tantangan pembangunan dan oleh sebab itu Pemerintah Indonesia berperan aktif
dalam berbagai kerjasama internasional yang terkait. Dalam upaya mencegah
pemanasan global, Pemerintah Indonesia berambisi menargetkan penurunan emisi
sebesar 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri, dan sebesar 41% apabila ada
bantuan internasional yang memadai.
Dokumen-dokumen seperti Rencana
Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI), Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), dan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)
diharapkan dapat memandu penyusunan strategi dan kegiatan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim secara efektif. Kesuksesan perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan ini sangat tergantung pada komitmen dan upaya para pemangku kepentingan
di bidang-bidang terkait.
0 komentar:
Posting Komentar